I. PENDAHULUAN
Augustinus adalah seorang
teolog yang berpengaruh dalam perkembangan gereja dan sejarah perkembangan
teologi, dan dapat dikatakan ia adalah seorang teolog terpenting.[1]
Teologi Augustinus merupakan puncak perkembangan teologi gereja mula-mula dan
juga jembatan kepada teolog-teolog abad pertengahan. Augustinus adalah seorang
besar yang memberi sifat pembentuk bagi pemikir Kristen. Ia adalah seorang
katolik tetapi juga Injili, seorang warga dunia yang terdidik tetapi juga
seorang kristen yang rendah hati dan berbakti. Augustinus lahir pada tahun 354
sM di Thagase, sebuah kota kecil bagian provinsi Romawi di Afrika. Ayahnya
bernama Patricius, seorang kafir yang tidak peduli tentang moralitas dan baru
masuk Kristen dalam waktu dekat sebelum wafatnya (372). Ibunya bernama Monica,
ia adalah seorang Kristen yang saleh dan sangat mengasihi Augustinus. Walaupun
Patricius dan monica sangat berbeda karakternya, namun mereka mempunyai
keinginan yang sama yakni menjadikan Augustinus seorang yang berhasil dalam studinya
dan dapat mendobrak dunia sempit di Thagase. Augustinus pun meresponi keinginan
dari orang tuanya sehingga ia dapat menyelesaikan pendidikannya dengan cepat di
Thagase.
Ketika ia berusia 12
tahun, orang tuanya mengirimnya ke Madaura untuk belajar di suatu sekolah bagi
anak-anak yang berbakat. Di sana Augustinus memulai pendidikannya dengan
membaca Vergil dan karya para penyair Yunani dan Romawi. Pada tahun-tahun awal
masa remajanya, gairah seks dan sensualitas juga berkembang. Adapun kesenangan dari
Augustinus adalah menonton sandiwara komedi latin klasik yang isinya telah
dicampur-adukkan dengan unsur sejarah, agama, dan porno.
Pada usia 16 tahun,
ayahnya meninggal, dan karena tidak mempunyai uang, Augustinus terpaksa pulang
ke rumahnya. Kemudian seorang kaya yang bernama Romanian bersedia untuk
membiayai studi Augustinus di universitas Kartago. Selama menempuh belajar di
Kartago, Augustinus pun masih terperangkap dengan dunia sensualitas. Ia tidak
pernah mau mendengarkan ibunya untuk kembali ke jalan yang benar, bahkan ia
mengambil seorang wanita simpanan di Kartago dan menjadi ayah dari seorang
putra yang bernama Adeodatus yang artinya “Yang diberikan oleh Allah”.[2]
II.
PERTOBATAN DAN PELAYANAN
AUGUSTINUS
Pertobatan Augustinus
sangat lama dan membutuhkan suatu proses dimana ia selalu berusaha untuk
mencari-cari kebenaran tetapi ia selalu kecewa. Ketika pertumbuhan
intelektualnya terus berlanjut, Studi filsafat membuatnya kecewa dengan gaya dan substansi Alkitab,
dimana ia menemukan bahwa isi Alkitab kabur, saling bertentangan, dan
kadang-kadang terasa memuakkan, kemudian ia berangkat ke Roma dengan harapan
mendapatkan kebenaran itu. Tetapi ternyata di Roma ia tidak mendapatkan
kebenaran tersebut, dan masih tetap menolak Alkitab.[3]
kemudian ia mencari kebenaran di tempat-tempat lain sampai akhirnya ia terlibat
dengan suatu sekte yang disebut kaum Manichaean (aliran Gnostik), semacam
gnostik Persia yang sangat asketis (suatu pola kesalehan untuk mencapai
kesempurnaan) yang mengajarkan suatu dualisme. Selama 9 tahun Augustinus
menjadi penganut Manichaeisme. Namun pada akhirnya ia kehilangan kepercayaan
kepada Manichaeisme karena akal budi dan hatinya tidak dipuaskan oleh ajaran
tersebut. Kemudian dia beralih kepada Skeptisisme yang berarti keraguan, dimana
dalam skeptisisme ini keraguan dan kecurigaan dijadikan prinsip dan metode. Ia
berkeyakinan bahwa manusia tidak sanggup untuk mengetahui sesuatu dengan penuh
kepastian, semuanya hanya samar-samar saja; tidak ada pegangan yang kokoh.
Ketika ia berusia 30 tahun,
ia pindah dari Kartago ke Roma. Di Roma, pencarian Augustinus untuk iman yang
baru memimpin dia pada Neoplatonisme. Kaum Neoplatonisme mengajarkan bahwa (1)
Allah adalah oknum yang murni dan sempurna. (2) dari Allah keluar pikiran yang
universal, kemudian satu jiwa-dunia akhirnya alam materi. (3) manusia naik
kepada Allah dengan menjalani suatu kehidupan yang ketat dan dengan melibatkan
diri dalam meditasi mistik sebagai satu jalan kepada keselamatan.
Untuk sesaat Augustinus
terpesona oleh Neoplatonisme, yang memiliki beberapa kemiripan dengan
Manichaeisme. Pelajaran filsafatnya itu membawanya lebih dekat lagi kepada
agama Kristen, dan di bawah pengaruh ibunya, Monica, yang datang dan tinggal
bersamanya, Augustinus mulai menghadiri gereja dimana ia mendengar khotbah
Uskup Ambrose dari Milan. Khotbah-khotbah ini membuat hati dam pikirannya
bergumul dan membuat ia tertarik pada kekristenan. Ia meninggalkan wanita
simpanannya.
Pada hari pertobatannya
ketika ia sedang duduk di suatu taman di Milan, ia mendengar nyanyian anak
kecil berkata, “Ambil dan bacalah; ambil dan bacalah.” Ketika itu Augustinus
menemukan kitab terdekat yaitu Alkitab. Ia membukanya sembarangan dan membaca
perkataan Paulus dalam Roma 13:13-14. setelah ia membacanya ia merasakan
hadirat dan damai sejahtera Kristus masuk ke dalam kehidupannya. Ia kemudian
menuliskan, “seakan cahaya iman memenuhi hatiku dan segala kabut keragu-raguan
dilenyapkan.”[4]
Augustinus memperoleh keyakinan pengampunan dosa dan menyaksikan pertobatannya
kepada teman-teman seprofesi dan juga kepada ibunya. Ibunya sangat senang, dan
pada paskah berikutnya ia dibabtis oleh Ambrosius.
Kemudian Augustinus dan
ibunya kembali ke Afrika, tetapi di tengah perjalanan ibunya meninggal.[5]
Sesampainya di Afrika ia menjual segala harta benda miliknya dan membagikannya
kepada orang-orang miskin. Atas permintaan dari Uskup kota Hippo di Afrika
Utara, Augustinus pergi ke Hippo untuk melayani orang-orang Kristen di sana.
Empat tahun kemudian, ia terpilih menjadi salah satu Uskup di Hippo. Di tempat
yang terpencil itu ia menjadi pemimpin besar dari Gereja Barat. Oleh
khotbah-khotbah, surat-surat, juga oleh pengaruhnya dalam sinode wilayah
Afrika, ia menjadi pembaharuan theology Gereja dan menjadi guru juga bagi
banyak pemuka Gereja daerah lain.[6]
Ada beberapa pengajaran
dari Augustinus yang cukup berpengaruh, antara lain: ajarannya tentang gereja,
pengajaran kepausan, perjamuan kudus, baptisan dan dosa turunan, trinitas, dan
lain-lain.
III. TRINITARIANISME AUGUSTINUS
Ketika
ia masih muda, ia berpikir tentang Allah sebagai satu oknum tak kelihatan yang
dapat menolongnya lolos dari pukulan-pukulan di sekolah. Ketika ia berumur dua
puluhan, Agustinus mendapati Allah itu diam secara misterius. Setelah
pertobatannya, ia lambat laun sampai pada suatu pemahaman yang matang tentang
Allah Alkitab. Ia menyatakan bahwa Allah yang transenden menciptakan segala
sesuatu ex nihilo, dari tidak ada. Jadi Augustinus menolak ajaran Plato,
pandangan Skeptik, dan juga dualismenya Manichaean. Ia percaya bahwa alam semesta
tidak ada dengan sendirinya dan bisa mencukupi diri sendiri; alam semesta itu
pasti mempunyai sumber dan sasarannya di dalam Allah, yang transenden di atas
segala sesuatu.
Pada
saat yang sama, Agustinus menekankan pada providensi Allah yang kreatif, yang
memerintah di atas segala sesuatu, dari atom terkecil sampai bintang yang
terbesar. Kontribusi besar teologis Augustinus oleh Atanasius. Augustinus
mengajar bahwa Allah telah menyatakan diri-Nya sebagai Bapa, Putera, dan Roh
Kudus yang kekal. Atanasius dan Augustinus berpendapat bahwa tiga Oknum
Trinitas itu adalah setara, kekal, dan mempunyai substansi yang sama.
Masing-masing Oknum itu secara kekal dan setara memiliki seluruh substansi dan
kuasa ke-Allahan, tetapi masing-masing berbeda satu dengan yang lainnya melalui
hubungan-hubungan dimana mereka berdiri satu terhadap lainnya. Masing-masing
memiliki kepribadian yang penuh.
Usaha
Augustinus untuk memahami dan menerangkan Trinitas bertumpu pada “iman yang
mencari pemahaman.” Usaha itu adalah pendekatan deduktif, yang di dasarkan pada
otoritas Alkitab dan gereja. Prinsip Trinitarian Augustinus menyelesaikan apa
yang tidak dapat dilakukan para pemikir lain. Bagi Augustinus, Trinitas
mempersatukan segala realitas. Allah Bapa dilihat sebagai esensi Ilahi, Allah
Roh Kudus menopang, mendukung, dan memberi eksistensi yang berkesinambungan
kepada segala ciptaan. Dalam kesatuan Trinitas, Allah Putera menghubungkan
segala realitas, baik yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan. Augustinus
juga menekankan rema Alkitabiah bahwa alam semesta bergantung pada kehendak
Penciptanya.
Akhirnya,
mengikuti pengajaran Paulus dan pengajaran lainnya dalam Alkitab, Augustinus
percaya bahwa Allah merencanakan atau mempredestinasikan sebagian orang untuk
diselamatkan. Ia meliputi orang-orang pilihan itu dengan orang-orang percaya
dan Roh Kudus sehingga mereka dapat beriman kepada Kristus. Ketika Augustinus
melihat ke belakang ke dalam kehidupannya sendiri, ia dapat melihat bagaimana
Allah telah bekerja mendesak dia menuju keselamatan. Allah mengetahui terlebih
dulu siapa yang akan dengan bebas menerima anugerah-Nya. Orang-orang itu
menerima pengaruh-pengaruh khusus untuk membawa mereka ke dalam keselamatan. Di
atas segalanya, Augustinus mengajarkan bahwa Allah Tritunggal itu berdaulat; Ia
dengan penuh anugerah mengasihi dan mengendalikan segala sesuatu.
IV. KONSEP AUGUSTINUS TENTANG GEREJA
Augustinus merupakan tokoh gereja
abad pertengahan, dan pada masa itu kaum donatis mengecam gereja katolik karena
kesucian dan kesungguhan iman. Bagi mereka kesucian para pejabat dan angora
gereja menjamin kebenarannya. Hanya iman yang hidup suci dan tidak pernah goyah
sedapat melayani sakramen-sakramen yang sah. Secara singkat, dapat dikatakan
bahwa kaum Donatis berpendapat bahwa gereja hanya dapat disebut suci kalau
kesucian ini nyata dalam kehidupan semua pejabat dan anggotanya.
Ada beberapa penekanan dari kaum
Donatis ini, antara lain: (a) Disiplin gereja yang ketat dan tegas (bahaya
moralisme dan legalisme). Mereka mencita-citakan suatu gereja yang murni dan
sempurna. (b) orang-orang Kristen telah menyangkal iman dalam penghambatan
gereja, diharuskan untuk dibaptis kembali. (c) penolakan para pendeta yang
dianggap tidak layak, khususnya mereka yang telah menyangkal iman mereka. (d)
sifat mutlak dari baptisan dalam hubungan dengan keselamatan. (d)
sakramen-sakramen yang diberikan oleh hamba-hamba Tuhan yang tidak setia
(menyangkal iman) dianggap tidak sah. Dan pandangan ini mengakibatkan
perpecahan gereja. (e) penolakan terhadap campur tangan pemerintah dalam
urusan-urusan agama, perkembangan individualisme.[7]
Donatisme (gereja pecahan di
Afrika Utara yang dipimpin oleh Donatus yang mengajarkan bahwa gereja terdiri
dari orang-orang suci) merupakan suatu pola berpikir yang berusaha untuk
meningkatkan dan menyegarkan kehidupan gereja dengan meningkatkan disiplin
gerejawi. Selain itu Donatisme mengaitkan wewenang pejabat-pejabat gereja
dengan hidupnya, bahkan mengaitkan sahnya sakramen yang dijalankan dengan
kesucian hidup pejabat gereja itu.
Augustinus melawan Donatisme ini
dengan sangat kerasnya. Menurut dia, kekudusan gereja tidak bersifat subyektif,
melainkan obyektif dan eskhatologis. Dasar kekudusan terdapat dalam karya
Kristus dan bukan dalam perbuatan manusia yang menyucikan diri sendiri. Kekudusan
orang-orang percaya adalah pemberian Tuhan yang diterima secara pribadi.
Kesempurnaan bersifat eskhatologis, baru akan dicapainya dalam penciptaan baru.[8]
Kesetiaan Augustinus terhadap gereja Katolik tidak diragukan. Di mata
Augustinus, Donatisme tampak menjadi sangat picik dan klaimnya sebagai
satu-satunya Gereja Kristus yang sejati terdengar sangat bodoh. Sebagai seorang imam di Hippo, Augustinus
menghasilkan sejumlah tulisan yang dengan begitu tekun, menelaah satu persatu
garis-garis besar permasalahan anti-Donatis.[9]
Salah satu pokok persoalan di dalam perdebatan itu adalah masalah
pembaptisan ulang. Pembaptisan skismatik adalah pembaptisan yang dilakukan oleh
kelompok-kelompok seperti kaum Donatis yang telah memisahkan diri tubuh pokok
umat beriman. Pada zaman Augustinus, semua orang Katolik Barat menerima
keabsahan pembaptisan skismatik, termasuk pembaptisan yang dilakukan oleh kaum
Donatis. Tetapi yang menjadi masalah adalah kaum Donatis sediri mewajibkan
pembaptisan ulang atas orang-orang Katolik yang hendak bergabung dengan mereka.
Karena di mata kaum Donatis, justru orang Katoliklah yang skismatik. Situasi
ini memunculkan keprihatinan pastoral yang mendorong Augustinus mengemukakan
argumen-argumen untuk membela pembaptisan Katolik terhadap serangan kaum
skismatik.
Penyebab utama skisma Donatis adalah bahwa para uskup Katolik di
seluruh dunia dianggap telah dijauhkan dari Roh sehingga tidak mempunyai
apa-apa lagi untuk diberikan kepada kawannya maupun kepada para pengganti
mereka di dalam jabatan keuskupan. Hal ini di katakan oleh kaum Donatis karena
uskup Katolik pernah memaafkan traditio. Sebagai reaksi, orang-orang
Katolik tidak hanya membela kelayakan para uskup mereka, melainkan juga
menyerang ajaran teologis yang fundamental bagi argumen para lawan mereka,
yakni invaliditas sakramen-sakramen yang diberikan oleh para pelayan yang tidak
pantas.inilah pendirian yang hendak dipertahankan oleh Augustinus dalam
traktatnya yang terpenting mengenai anti-Donatis, yaitu Baptism: Against the
Donatists (Pembabtisan: Melawan Kaum Donatis), yang ditulis pada tahun
400-401.[10]
Augustinus menolak Donatisme berdasarkan 3 pertimbangan, yaitu: (a)
berdasarkan kematian Kristus (Yohanes 3:16). Gereja adalah gereja yang bersifat
universal dan Am. (b) di luar gereja (Katolik) tidak ada keselamatan. Hal ini
berarti bahwa pemisahan diri dari gereja katolik selalu berarti bahwa yang
bersangkutan terpisah dari keselamatan. (c) kasih kepada Kristus juga selalu
mendorong kasih kepada saudara-saudara beriman: “Bila anda mengasihi kepala
gereja, maka anda juga mengasihi anggota-anggota gereja.” Jadi, bila kaum
Donatis meninggalkan saudara-saudara yang dikasihi oleh Allah, maka mereka
sekaligus meninggalkan kasih Allah.[11]
Seorang teolog yang bernama Optatus, Uskup Mileve, pada tahun 365
mengatakan bahwa keabsahan sakramen-sakramen tidak tergantung dari imam-imam
yang melayaninya melinkan dari Allah Tritunggal yang melayani sakramen-sakramen
melalui tangan pejabat gereja. Alasan-alasan Optatus sangat mempengaruhi
Augustinus. Augustinus bertolak dari gagasan-gagasan eklesiologis seperti yang
dikemukakan oleh Otatus. Gereja adalah tubuh Kristus, tempat kediaman Roh
Kudus, Ibu semua orang percaya, tempat satu-satunya dimana manusia dapat
memperoleh keselamata melalui iman dan sakramen-sakramen. Ia juga memperdalam
eklesiologis anti-Donatis dengan membedakan dua aspek yang ada dalam gereja,
yaitu gereja yang kelihatan dan gereja yang tidak kelihatan. Gereja yang
kelihatan terdiri dari orang-orang baik dan orang-orang berdosa, dan mustahil
jika memisahkan kedua jenis anggota gereja tersebut. Sedangkan gereja yang
tidak kelihatan menurut Augustinus adalah gereja yang merupakan tubuh Kristus,
dimana orang yang percaya yang menjadi bagian dalam tubuh Kristus tersebut
adalah orang yang benar-benar telah dipilih oleh Allah. Dikemudian hari
eklesiologi ini dihubungkan Augustinus dengan ajaran tentang predestinasi,
yaitu gagasan bahwa Allah sebelum segala zaman telah menentukan siapa yang akan
diselamatkan.[12]
V. SPIRITUALITAS AUGUSTINUS DAN PENGARUHNYA DI ZAMAN SEKARANG
Pengaruh Augustinus dapat
ditemukan sepanjang sejarah dan dalam kedua belahan Gereja Barat. Luther dan
Calvin memandang Augustinus sebagai guru yang karyanya sering mereka kutip,
tetapi dalam gereja Katholik Roma pun ia tetap dihormati sebagai Bapak Gereja
yang terbesar. Augustinus merupakan teolog terpenting dan yang paling
berpengaruh antara zaman rasul Paulus dan Sckolastik, bahkan zaman Reformasi.
Banyak perkembangan teologis bertitik tolak dari teologi Augustinus dan
kebanyakan buku-buku dan karangan-karangan Augustinus dipelajari dengan
sungguh-sungguh oleh teolog-teolog Gereja Katolik Roma, mereka diarahkan kepada
kebenaran Alkitab dan suatu teologi yang bercorak Alkitabiah.[13]
Sepanjang umurnya, Augustinus membaca dengan teliti peristiwa-peristiwa
sejarah bangsa manusia. Ketika dunia tertimpa keruntuhan oleh bangsa barbar,
Augustinus menunjukkan kepada orang yang ketakutan, suatu sintese sejarah dalam
bukunya kota Allah. Augustinus berani menyelami arti sejarah bangsa
manusia, karena itulah dia dianggap pemain utama dalam masa peralihan, untuk
menjembatani jurang antara budaya Kristen-latin yang dalam bahaya mau hilang,
dan budaya Eropa Baru yang baru lahir. Situasi ini tidak memberikan keleluasaan
bergerak untuk agama Kristiani, yang memang sedikit jumlah penganutnya, tapi
yang masih tetap hadir dan hidup ala kadarnya. Walaupun demikian, sering juga
pada saat itu diadakan berbagai pertemuan, dan pertemuan-pertemuan itu sangat
penting bagi kehidupan Gereja-gereja local yang memperingatkan setiap orang
percaya akan peristiwa-peristiwa dalam kehidupan Yesus. Hubungan antara
manusia, dialog, pertemuan, atau disebut apapun juga, selalu memperkaya kedua
pihak.
VI. KESIMPULAN
Augustinus adalah seorang teolog besar dunia Barat
Kristen. Ia menerangkan secara lebih sepenuhnya dari pada para pendahulunya,
tentang bagaimana Allah ada sebagai Oknum-Oknum Trinitas dan bagaimana anugerah
Allah merupakan sumber dari keselamatan manusia. Pemikiran Augustinus yang
matang membedakan secara tajam antara posisi Yunani dan Kristen. Teologi
biblikanya secara kuat telah mempengaruhi orang-orang Kristen di sepanjang
zaman. Ia memakai Alkitab untuk membangun suatu wawasan yang menegaskan
anugerah Allah Tritunggal dan menyatakan manusia bergantung total pada Allah Alkitab
yang hidup.
Augustinus mengatakan bahwa hanya anugerah Allah saja
yang dapat melepaskan manusia dari belenggu dosa dan ketika seorang
diselamatkan oleh anugerah, ia menerima nature baru, yang melalui pekerjaan Roh
Kudus bertumbuh dalam kekudusan dan dalam kebenaran. Tetapi dalam kehidupan
ini, kesempurnaan tidak dapat diperoleh. Dia juga mengatakan bahwa manusia
tidak boleh membatasi luasnya gereja, tetapi harus menerimanya sebagaimana
adanya. Gereja hendaklah didekati secara realistis. Augustinus menegaskan bahwa
bahaya terbesar bagi gereja itu bukan dari luar tetapi dari dalam. Musuh-musuh
gereja yang paling berbahaya ialah orang Kristen sendiri. Yang baik dan yanga
jahat, Allah dan berhala-berhala buatan manusia sendiri, semuanya itu ada di
dalam gereja.
Ucapan Augustinus yang mengatakan “Bila orang kecil
memikirkan dan mengejar hal-hal yang besar, maka mereka biasanya bertumbuh
menjadi besar juga.” Jadi bila orang Kristen dan orang Islam menghayati
bersama, maka pertumbuhan tersebut dapat
diharapkan akan menjelma juga pada mereka. Augustinus menasihati jemaatnya agar
apabila mereka ingin mendekati orang biarlah di dekati secara lemah lembut atau
dengan hati-hati dan halus. [14]
[1] Tony Lane, Runtut Pijar:
Sejarah Pemikiran Kristiani, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1990), hlm. 39.
[2] P. Van Diepen, OSA, Augustinus Tahanan Tuhan (Yogyakarta:
Kanisius, 2000) hlm. 23-27
[3] Dietrich Kuhl, Sejarah Gereja I: Gereja Mula-Mula di Dalam
Lingkungan Kebudayaan Yunani-Romawi (30-500), (Batu Malang: Yayasan
Persekutuan Pekabaran Injil Indonesia, 1992), hlm 143-144.
[4] A Kenneth Curtis, Peristiwa Penting dalam Sejarah Kristen, (Jakarta:
BPK Gunung Mulia,.. ), hlm. 26.
[5] Van Den End, Harta Dalam Bejana: Sejarah Gereja Singkat, (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1991), hlm. 87.
[6] Ibid.
[7] Dietrich Kuhl, Sejarah Gereja I., hlm. 98
[8] Ibid., hlm 153.
[9] Richard Price, Tokoh Pemikir Kristen: Agustinus,
(Yogyakarta: Kanisius, 2000) hlm. 36.
[10] Ibid., hlm. 37-41.
[11] Dietrich Kuhl, Sejarah Gereja I., hlm. 154.
[12] Chr. De Jonge dan Jan. S Aritonang, Pengantar Sejarah
Eklesiologi: Apa dan Bagaimana Gereja? (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997),
hlm. 22.
[13] Diethnic Kuhl, Sejarah Gereja I., hlm. 160-161
[14] P. Van Diepen, Augustinus Tahanan Tuhan (Yogyakarta:
Kanisius, 2000) hlm. 188.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar