Senin, 19 Maret 2012

THOMAS AQUINAS


I.       PENDAHULUAN

Augustinus adalah seorang teolog yang berpengaruh dalam perkembangan gereja dan sejarah perkembangan teologi, dan dapat dikatakan ia adalah seorang teolog terpenting.[1] Teologi Augustinus merupakan puncak perkembangan teologi gereja mula-mula dan juga jembatan kepada teolog-teolog abad pertengahan. Augustinus adalah seorang besar yang memberi sifat pembentuk bagi pemikir Kristen. Ia adalah seorang katolik tetapi juga Injili, seorang warga dunia yang terdidik tetapi juga seorang kristen yang rendah hati dan berbakti. Augustinus lahir pada tahun 354 sM di Thagase, sebuah kota kecil bagian provinsi Romawi di Afrika. Ayahnya bernama Patricius, seorang kafir yang tidak peduli tentang moralitas dan baru masuk Kristen dalam waktu dekat sebelum wafatnya (372). Ibunya bernama Monica, ia adalah seorang Kristen yang saleh dan sangat mengasihi Augustinus. Walaupun Patricius dan monica sangat berbeda karakternya, namun mereka mempunyai keinginan yang sama yakni menjadikan Augustinus seorang yang berhasil dalam studinya dan dapat mendobrak dunia sempit di Thagase. Augustinus pun meresponi keinginan dari orang tuanya sehingga ia dapat menyelesaikan pendidikannya dengan cepat di Thagase.
Ketika ia berusia 12 tahun, orang tuanya mengirimnya ke Madaura untuk belajar di suatu sekolah bagi anak-anak yang berbakat. Di sana Augustinus memulai pendidikannya dengan membaca Vergil dan karya para penyair Yunani dan Romawi. Pada tahun-tahun awal masa remajanya, gairah seks dan sensualitas juga berkembang. Adapun kesenangan dari Augustinus adalah menonton sandiwara komedi latin klasik yang isinya telah dicampur-adukkan dengan unsur sejarah, agama, dan porno.
Pada usia 16 tahun, ayahnya meninggal, dan karena tidak mempunyai uang, Augustinus terpaksa pulang ke rumahnya. Kemudian seorang kaya yang bernama Romanian bersedia untuk membiayai studi Augustinus di universitas Kartago. Selama menempuh belajar di Kartago, Augustinus pun masih terperangkap dengan dunia sensualitas. Ia tidak pernah mau mendengarkan ibunya untuk kembali ke jalan yang benar, bahkan ia mengambil seorang wanita simpanan di Kartago dan menjadi ayah dari seorang putra yang bernama Adeodatus yang artinya “Yang diberikan oleh Allah”.[2]

II.                PERTOBATAN DAN PELAYANAN AUGUSTINUS
Pertobatan Augustinus sangat lama dan membutuhkan suatu proses dimana ia selalu berusaha untuk mencari-cari kebenaran tetapi ia selalu kecewa. Ketika pertumbuhan intelektualnya terus berlanjut, Studi filsafat membuatnya  kecewa dengan gaya dan substansi Alkitab, dimana ia menemukan bahwa isi Alkitab kabur, saling bertentangan, dan kadang-kadang terasa memuakkan, kemudian ia berangkat ke Roma dengan harapan mendapatkan kebenaran itu. Tetapi ternyata di Roma ia tidak mendapatkan kebenaran tersebut, dan masih tetap menolak Alkitab.[3] kemudian ia mencari kebenaran di tempat-tempat lain sampai akhirnya ia terlibat dengan suatu sekte yang disebut kaum Manichaean (aliran Gnostik), semacam gnostik Persia yang sangat asketis (suatu pola kesalehan untuk mencapai kesempurnaan) yang mengajarkan suatu dualisme. Selama 9 tahun Augustinus menjadi penganut Manichaeisme. Namun pada akhirnya ia kehilangan kepercayaan kepada Manichaeisme karena akal budi dan hatinya tidak dipuaskan oleh ajaran tersebut. Kemudian dia beralih kepada Skeptisisme yang berarti keraguan, dimana dalam skeptisisme ini keraguan dan kecurigaan dijadikan prinsip dan metode. Ia berkeyakinan bahwa manusia tidak sanggup untuk mengetahui sesuatu dengan penuh kepastian, semuanya hanya samar-samar saja; tidak ada pegangan yang kokoh.
Ketika ia berusia 30 tahun, ia pindah dari Kartago ke Roma. Di Roma, pencarian Augustinus untuk iman yang baru memimpin dia pada Neoplatonisme. Kaum Neoplatonisme mengajarkan bahwa (1) Allah adalah oknum yang murni dan sempurna. (2) dari Allah keluar pikiran yang universal, kemudian satu jiwa-dunia akhirnya alam materi. (3) manusia naik kepada Allah dengan menjalani suatu kehidupan yang ketat dan dengan melibatkan diri dalam meditasi mistik sebagai satu jalan kepada keselamatan.
Untuk sesaat Augustinus terpesona oleh Neoplatonisme, yang memiliki beberapa kemiripan dengan Manichaeisme. Pelajaran filsafatnya itu membawanya lebih dekat lagi kepada agama Kristen, dan di bawah pengaruh ibunya, Monica, yang datang dan tinggal bersamanya, Augustinus mulai menghadiri gereja dimana ia mendengar khotbah Uskup Ambrose dari Milan. Khotbah-khotbah ini membuat hati dam pikirannya bergumul dan membuat ia tertarik pada kekristenan. Ia meninggalkan wanita simpanannya.
Pada hari pertobatannya ketika ia sedang duduk di suatu taman di Milan, ia mendengar nyanyian anak kecil berkata, “Ambil dan bacalah; ambil dan bacalah.” Ketika itu Augustinus menemukan kitab terdekat yaitu Alkitab. Ia membukanya sembarangan dan membaca perkataan Paulus dalam Roma 13:13-14. setelah ia membacanya ia merasakan hadirat dan damai sejahtera Kristus masuk ke dalam kehidupannya. Ia kemudian menuliskan, “seakan cahaya iman memenuhi hatiku dan segala kabut keragu-raguan dilenyapkan.”[4] Augustinus memperoleh keyakinan pengampunan dosa dan menyaksikan pertobatannya kepada teman-teman seprofesi dan juga kepada ibunya. Ibunya sangat senang, dan pada paskah berikutnya ia dibabtis oleh Ambrosius.
Kemudian Augustinus dan ibunya kembali ke Afrika, tetapi di tengah perjalanan ibunya meninggal.[5] Sesampainya di Afrika ia menjual segala harta benda miliknya dan membagikannya kepada orang-orang miskin. Atas permintaan dari Uskup kota Hippo di Afrika Utara, Augustinus pergi ke Hippo untuk melayani orang-orang Kristen di sana. Empat tahun kemudian, ia terpilih menjadi salah satu Uskup di Hippo. Di tempat yang terpencil itu ia menjadi pemimpin besar dari Gereja Barat. Oleh khotbah-khotbah, surat-surat, juga oleh pengaruhnya dalam sinode wilayah Afrika, ia menjadi pembaharuan theology Gereja dan menjadi guru juga bagi banyak pemuka Gereja daerah lain.[6]
Ada beberapa pengajaran dari Augustinus yang cukup berpengaruh, antara lain: ajarannya tentang gereja, pengajaran kepausan, perjamuan kudus, baptisan dan dosa turunan, trinitas, dan lain-lain.

III.             TRINITARIANISME AUGUSTINUS

            Ketika ia masih muda, ia berpikir tentang Allah sebagai satu oknum tak kelihatan yang dapat menolongnya lolos dari pukulan-pukulan di sekolah. Ketika ia berumur dua puluhan, Agustinus mendapati Allah itu diam secara misterius. Setelah pertobatannya, ia lambat laun sampai pada suatu pemahaman yang matang tentang Allah Alkitab. Ia menyatakan bahwa Allah yang transenden menciptakan segala sesuatu ex nihilo, dari tidak ada. Jadi Augustinus menolak ajaran Plato, pandangan Skeptik, dan juga dualismenya Manichaean. Ia percaya bahwa alam semesta tidak ada dengan sendirinya dan bisa mencukupi diri sendiri; alam semesta itu pasti mempunyai sumber dan sasarannya di dalam Allah, yang transenden di atas segala sesuatu.
            Pada saat yang sama, Agustinus menekankan pada providensi Allah yang kreatif, yang memerintah di atas segala sesuatu, dari atom terkecil sampai bintang yang terbesar. Kontribusi besar teologis Augustinus oleh Atanasius. Augustinus mengajar bahwa Allah telah menyatakan diri-Nya sebagai Bapa, Putera, dan Roh Kudus yang kekal. Atanasius dan Augustinus berpendapat bahwa tiga Oknum Trinitas itu adalah setara, kekal, dan mempunyai substansi yang sama. Masing-masing Oknum itu secara kekal dan setara memiliki seluruh substansi dan kuasa ke-Allahan, tetapi masing-masing berbeda satu dengan yang lainnya melalui hubungan-hubungan dimana mereka berdiri satu terhadap lainnya. Masing-masing memiliki kepribadian yang penuh.
            Usaha Augustinus untuk memahami dan menerangkan Trinitas bertumpu pada “iman yang mencari pemahaman.” Usaha itu adalah pendekatan deduktif, yang di dasarkan pada otoritas Alkitab dan gereja. Prinsip Trinitarian Augustinus menyelesaikan apa yang tidak dapat dilakukan para pemikir lain. Bagi Augustinus, Trinitas mempersatukan segala realitas. Allah Bapa dilihat sebagai esensi Ilahi, Allah Roh Kudus menopang, mendukung, dan memberi eksistensi yang berkesinambungan kepada segala ciptaan. Dalam kesatuan Trinitas, Allah Putera menghubungkan segala realitas, baik yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan. Augustinus juga menekankan rema Alkitabiah bahwa alam semesta bergantung pada kehendak Penciptanya.
            Akhirnya, mengikuti pengajaran Paulus dan pengajaran lainnya dalam Alkitab, Augustinus percaya bahwa Allah merencanakan atau mempredestinasikan sebagian orang untuk diselamatkan. Ia meliputi orang-orang pilihan itu dengan orang-orang percaya dan Roh Kudus sehingga mereka dapat beriman kepada Kristus. Ketika Augustinus melihat ke belakang ke dalam kehidupannya sendiri, ia dapat melihat bagaimana Allah telah bekerja mendesak dia menuju keselamatan. Allah mengetahui terlebih dulu siapa yang akan dengan bebas menerima anugerah-Nya. Orang-orang itu menerima pengaruh-pengaruh khusus untuk membawa mereka ke dalam keselamatan. Di atas segalanya, Augustinus mengajarkan bahwa Allah Tritunggal itu berdaulat; Ia dengan penuh anugerah mengasihi dan mengendalikan segala sesuatu.

IV.       KONSEP AUGUSTINUS TENTANG GEREJA

Augustinus merupakan tokoh gereja abad pertengahan, dan pada masa itu kaum donatis mengecam gereja katolik karena kesucian dan kesungguhan iman. Bagi mereka kesucian para pejabat dan angora gereja menjamin kebenarannya. Hanya iman yang hidup suci dan tidak pernah goyah sedapat melayani sakramen-sakramen yang sah. Secara singkat, dapat dikatakan bahwa kaum Donatis berpendapat bahwa gereja hanya dapat disebut suci kalau kesucian ini nyata dalam kehidupan semua pejabat dan anggotanya.
Ada beberapa penekanan dari kaum Donatis ini, antara lain: (a) Disiplin gereja yang ketat dan tegas (bahaya moralisme dan legalisme). Mereka mencita-citakan suatu gereja yang murni dan sempurna. (b) orang-orang Kristen telah menyangkal iman dalam penghambatan gereja, diharuskan untuk dibaptis kembali. (c) penolakan para pendeta yang dianggap tidak layak, khususnya mereka yang telah menyangkal iman mereka. (d) sifat mutlak dari baptisan dalam hubungan dengan keselamatan. (d) sakramen-sakramen yang diberikan oleh hamba-hamba Tuhan yang tidak setia (menyangkal iman) dianggap tidak sah. Dan pandangan ini mengakibatkan perpecahan gereja. (e) penolakan terhadap campur tangan pemerintah dalam urusan-urusan agama, perkembangan individualisme.[7]
Donatisme (gereja pecahan di Afrika Utara yang dipimpin oleh Donatus yang mengajarkan bahwa gereja terdiri dari orang-orang suci) merupakan suatu pola berpikir yang berusaha untuk meningkatkan dan menyegarkan kehidupan gereja dengan meningkatkan disiplin gerejawi. Selain itu Donatisme mengaitkan wewenang pejabat-pejabat gereja dengan hidupnya, bahkan mengaitkan sahnya sakramen yang dijalankan dengan kesucian hidup pejabat gereja itu.
Augustinus melawan Donatisme ini dengan sangat kerasnya. Menurut dia, kekudusan gereja tidak bersifat subyektif, melainkan obyektif dan eskhatologis. Dasar kekudusan terdapat dalam karya Kristus dan bukan dalam perbuatan manusia yang menyucikan diri sendiri. Kekudusan orang-orang percaya adalah pemberian Tuhan yang diterima secara pribadi. Kesempurnaan bersifat eskhatologis, baru akan dicapainya dalam penciptaan baru.[8] Kesetiaan Augustinus terhadap gereja Katolik tidak diragukan. Di mata Augustinus, Donatisme tampak menjadi sangat picik dan klaimnya sebagai satu-satunya Gereja Kristus yang sejati terdengar sangat bodoh.  Sebagai seorang imam di Hippo, Augustinus menghasilkan sejumlah tulisan yang dengan begitu tekun, menelaah satu persatu garis-garis besar permasalahan anti-Donatis.[9]
Salah satu pokok persoalan di dalam perdebatan itu adalah masalah pembaptisan ulang. Pembaptisan skismatik adalah pembaptisan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok seperti kaum Donatis yang telah memisahkan diri tubuh pokok umat beriman. Pada zaman Augustinus, semua orang Katolik Barat menerima keabsahan pembaptisan skismatik, termasuk pembaptisan yang dilakukan oleh kaum Donatis. Tetapi yang menjadi masalah adalah kaum Donatis sediri mewajibkan pembaptisan ulang atas orang-orang Katolik yang hendak bergabung dengan mereka. Karena di mata kaum Donatis, justru orang Katoliklah yang skismatik. Situasi ini memunculkan keprihatinan pastoral yang mendorong Augustinus mengemukakan argumen-argumen untuk membela pembaptisan Katolik terhadap serangan kaum skismatik.
Penyebab utama skisma Donatis adalah bahwa para uskup Katolik di seluruh dunia dianggap telah dijauhkan dari Roh sehingga tidak mempunyai apa-apa lagi untuk diberikan kepada kawannya maupun kepada para pengganti mereka di dalam jabatan keuskupan. Hal ini di katakan oleh kaum Donatis karena uskup Katolik pernah memaafkan traditio. Sebagai reaksi, orang-orang Katolik tidak hanya membela kelayakan para uskup mereka, melainkan juga menyerang ajaran teologis yang fundamental bagi argumen para lawan mereka, yakni invaliditas sakramen-sakramen yang diberikan oleh para pelayan yang tidak pantas.inilah pendirian yang hendak dipertahankan oleh Augustinus dalam traktatnya yang terpenting mengenai anti-Donatis, yaitu Baptism: Against the Donatists (Pembabtisan: Melawan Kaum Donatis), yang ditulis pada tahun 400-401.[10]
Augustinus menolak Donatisme berdasarkan 3 pertimbangan, yaitu: (a) berdasarkan kematian Kristus (Yohanes 3:16). Gereja adalah gereja yang bersifat universal dan Am. (b) di luar gereja (Katolik) tidak ada keselamatan. Hal ini berarti bahwa pemisahan diri dari gereja katolik selalu berarti bahwa yang bersangkutan terpisah dari keselamatan. (c) kasih kepada Kristus juga selalu mendorong kasih kepada saudara-saudara beriman: “Bila anda mengasihi kepala gereja, maka anda juga mengasihi anggota-anggota gereja.” Jadi, bila kaum Donatis meninggalkan saudara-saudara yang dikasihi oleh Allah, maka mereka sekaligus meninggalkan kasih Allah.[11]
Seorang teolog yang bernama Optatus, Uskup Mileve, pada tahun 365 mengatakan bahwa keabsahan sakramen-sakramen tidak tergantung dari imam-imam yang melayaninya melinkan dari Allah Tritunggal yang melayani sakramen-sakramen melalui tangan pejabat gereja. Alasan-alasan Optatus sangat mempengaruhi Augustinus. Augustinus bertolak dari gagasan-gagasan eklesiologis seperti yang dikemukakan oleh Otatus. Gereja adalah tubuh Kristus, tempat kediaman Roh Kudus, Ibu semua orang percaya, tempat satu-satunya dimana manusia dapat memperoleh keselamata melalui iman dan sakramen-sakramen. Ia juga memperdalam eklesiologis anti-Donatis dengan membedakan dua aspek yang ada dalam gereja, yaitu gereja yang kelihatan dan gereja yang tidak kelihatan. Gereja yang kelihatan terdiri dari orang-orang baik dan orang-orang berdosa, dan mustahil jika memisahkan kedua jenis anggota gereja tersebut. Sedangkan gereja yang tidak kelihatan menurut Augustinus adalah gereja yang merupakan tubuh Kristus, dimana orang yang percaya yang menjadi bagian dalam tubuh Kristus tersebut adalah orang yang benar-benar telah dipilih oleh Allah. Dikemudian hari eklesiologi ini dihubungkan Augustinus dengan ajaran tentang predestinasi, yaitu gagasan bahwa Allah sebelum segala zaman telah menentukan siapa yang akan diselamatkan.[12]

V.          SPIRITUALITAS AUGUSTINUS DAN PENGARUHNYA DI ZAMAN SEKARANG

Pengaruh Augustinus dapat ditemukan sepanjang sejarah dan dalam kedua belahan Gereja Barat. Luther dan Calvin memandang Augustinus sebagai guru yang karyanya sering mereka kutip, tetapi dalam gereja Katholik Roma pun ia tetap dihormati sebagai Bapak Gereja yang terbesar. Augustinus merupakan teolog terpenting dan yang paling berpengaruh antara zaman rasul Paulus dan Sckolastik, bahkan zaman Reformasi. Banyak perkembangan teologis bertitik tolak dari teologi Augustinus dan kebanyakan buku-buku dan karangan-karangan Augustinus dipelajari dengan sungguh-sungguh oleh teolog-teolog Gereja Katolik Roma, mereka diarahkan kepada kebenaran Alkitab dan suatu teologi yang bercorak Alkitabiah.[13]
Sepanjang umurnya, Augustinus membaca dengan teliti peristiwa-peristiwa sejarah bangsa manusia. Ketika dunia tertimpa keruntuhan oleh bangsa barbar, Augustinus menunjukkan kepada orang yang ketakutan, suatu sintese sejarah dalam bukunya kota Allah. Augustinus berani menyelami arti sejarah bangsa manusia, karena itulah dia dianggap pemain utama dalam masa peralihan, untuk menjembatani jurang antara budaya Kristen-latin yang dalam bahaya mau hilang, dan budaya Eropa Baru yang baru lahir. Situasi ini tidak memberikan keleluasaan bergerak untuk agama Kristiani, yang memang sedikit jumlah penganutnya, tapi yang masih tetap hadir dan hidup ala kadarnya. Walaupun demikian, sering juga pada saat itu diadakan berbagai pertemuan, dan pertemuan-pertemuan itu sangat penting bagi kehidupan Gereja-gereja local yang memperingatkan setiap orang percaya akan peristiwa-peristiwa dalam kehidupan Yesus. Hubungan antara manusia, dialog, pertemuan, atau disebut apapun juga, selalu memperkaya kedua pihak.

VI.       KESIMPULAN

Augustinus adalah seorang teolog besar dunia Barat Kristen. Ia menerangkan secara lebih sepenuhnya dari pada para pendahulunya, tentang bagaimana Allah ada sebagai Oknum-Oknum Trinitas dan bagaimana anugerah Allah merupakan sumber dari keselamatan manusia. Pemikiran Augustinus yang matang membedakan secara tajam antara posisi Yunani dan Kristen. Teologi biblikanya secara kuat telah mempengaruhi orang-orang Kristen di sepanjang zaman. Ia memakai Alkitab untuk membangun suatu wawasan yang menegaskan anugerah Allah Tritunggal dan menyatakan manusia bergantung total pada Allah Alkitab yang hidup.
Augustinus mengatakan bahwa hanya anugerah Allah saja yang dapat melepaskan manusia dari belenggu dosa dan ketika seorang diselamatkan oleh anugerah, ia menerima nature baru, yang melalui pekerjaan Roh Kudus bertumbuh dalam kekudusan dan dalam kebenaran. Tetapi dalam kehidupan ini, kesempurnaan tidak dapat diperoleh. Dia juga mengatakan bahwa manusia tidak boleh membatasi luasnya gereja, tetapi harus menerimanya sebagaimana adanya. Gereja hendaklah didekati secara realistis. Augustinus menegaskan bahwa bahaya terbesar bagi gereja itu bukan dari luar tetapi dari dalam. Musuh-musuh gereja yang paling berbahaya ialah orang Kristen sendiri. Yang baik dan yanga jahat, Allah dan berhala-berhala buatan manusia sendiri, semuanya itu ada di dalam gereja.
Ucapan Augustinus yang mengatakan “Bila orang kecil memikirkan dan mengejar hal-hal yang besar, maka mereka biasanya bertumbuh menjadi besar juga.” Jadi bila orang Kristen dan orang Islam menghayati bersama, maka pertumbuhan tersebut  dapat diharapkan akan menjelma juga pada mereka. Augustinus menasihati jemaatnya agar apabila mereka ingin mendekati orang biarlah di dekati secara lemah lembut atau dengan hati-hati dan halus. [14]



[1] Tony Lane,  Runtut Pijar: Sejarah Pemikiran Kristiani, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1990), hlm. 39.
[2] P. Van Diepen, OSA, Augustinus Tahanan Tuhan (Yogyakarta: Kanisius, 2000) hlm. 23-27
[3] Dietrich Kuhl, Sejarah Gereja I: Gereja Mula-Mula di Dalam Lingkungan Kebudayaan Yunani-Romawi (30-500), (Batu Malang: Yayasan Persekutuan Pekabaran Injil Indonesia, 1992), hlm 143-144.
[4] A Kenneth Curtis, Peristiwa Penting dalam Sejarah Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,.. ), hlm. 26.
[5] Van Den End, Harta Dalam Bejana: Sejarah Gereja Singkat, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991), hlm. 87.
[6] Ibid.
[7] Dietrich Kuhl, Sejarah Gereja I., hlm. 98
[8] Ibid., hlm 153.
[9] Richard Price, Tokoh Pemikir Kristen: Agustinus, (Yogyakarta: Kanisius, 2000) hlm. 36.
[10] Ibid., hlm. 37-41.
[11] Dietrich Kuhl, Sejarah Gereja I., hlm. 154.
[12] Chr. De Jonge dan Jan. S Aritonang, Pengantar Sejarah Eklesiologi: Apa dan Bagaimana Gereja? (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), hlm. 22.
[13] Diethnic Kuhl, Sejarah Gereja I., hlm. 160-161
[14] P. Van Diepen, Augustinus Tahanan Tuhan (Yogyakarta: Kanisius, 2000) hlm. 188.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar